Apa yang paling penting dalam hidup ini ya? Hidup bahagia atau hidup berguna? Dua-duanya, memang sedikit berbeda, khususnya dalam praktek. Banyak diantara kita akan cenderung memilih “hidup bahagia”. Untuk itu kita berusaha gimana caranya bisa hidup bahagia. Kalaupun tak bisa mendefinisikan apa itu bahagia dalam arti hakiki, paling tidak umumnya kita akan berusaha mati-matian untuk menghindari “hidup menderita”. Saya sering bertanya-tanya, sebenarnya apa itu bahagia? Apakah ketika hati gembira itu adalah pertanda kita bahagia? Apakah ukurannya memang “perasaan hati”? Ketika kekayaan kita bertambah, kita senang sekali. Itukah bahagia? Ketika kita dipuji, kita pun merasa “berharga”. Itukah bahagia? Tapi anehnya, ketika melakukan kebaikan atau kewajiban yang tidak dilihat orang lain, kok kita biasa-biasa saja? Ga ada perasaan apa-apa? Apa perasaan anda ketika mau bangun tidur untuk shalat subuh, misalnya? Apakah timbul perasaan suka? Bukankah kita akan bertemu dengan Sang Maha Pencipta? Ataukah perasaan Anda hanya biasa-biasa saja? Kok beda sekali halnya ketika kita dipanggil untuk bertemu dengan orang yang kita hormati, kita cintai, idola kita … bisa-bisa nggak tidur semalaman! Ada apa ini? Apakah ini pertanda “manisnya iman” sudah tercerabut dari hati kita? Saya jadi ingat salah satu tanda azab Allah kepada kita adalah dicabutnya perasaan “manisnya iman” saat kita beribadah kepada-Nya. Lalu, mari kita baca kisah-kisah pada nabi dan para sahabat nabi. Bisa dibilang hidup mereka habis oleh berbagai penderitaan, paling tidak dalam ukuran penderitaan jasmani. Kesulitan demi kesulitan menghadang perjuangan mereka. Peperangan dan fitnah senantiasa terjadi sepanjang hidup mereka. Saya yakin, bila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, kita akan mengatakan “mereka tidak bahagia”. Betulkah demikian? Saya baca lagi, ternyata sekalipun secara jasmani mereka menderita, namun secara ruhani, jiwa mereka justru selalu diliputi kebahagiaan tiada tara. Mereka tidak pernah mengeluh, bahkan senantiasa bersyukur atas segala nikmat hidup yang mereka terima. Jadi ternyata ruhani mereka bahagia. Ruhaninya terhubung dengan Allah SWT. Kebahagiaan mereka hanyalah tatkala mereka mampu senantiasa bersyukur kepada-Nya dan senantiasa ikhlas menjalani setiap detik kehidupannya. Subhanallah. Apa yang membuat mereka bisa begitu? Ini memang berbeda dengan pencarian kebahagiaan kita. Mungkin memang ukuran kebahagiaan kita yang sudah salah. Kita mengukurnya dengan neraca biologis jasmani kita. Kepuasan perut kita, kesenangan farji kita, kebanggaan diri kita, pengakuan orang lain, hidup dalam kemewahan, hedonisme, dsb. Padahal ‘kan seharusnya adalah keridhaan Allah terhadap perbuatan dan pertumbuhan diri kita. Bukankah salah satu tujuan hidup kita adalah “berjalan menuju Allah SWT”? Sehingga fokus kebahagiaan kita hanyalah ketika kita merasa benar-benar “bergerak semakin dekat kepada-Nya”? Itu artinya kebahagiaan kita berada dalam koridor “perjalanan ruhani kita.” Perjalanan pertumbuhan ruhani kita, agaknya banyak terkait dengan pertumbuhan pengetahuan kita, pertumbuhan amal shalih kita, pertumbuhan ibadah kita. Hanya dengan cara begitu kita “mendekati” Allah SWT. Kalau begitu, kembali ke pertanyaan awal tulisan kita tadi, hidup seperti apa yang kita pilih? Saya cenderung pada pilihan “hidup yang berguna”. Ya, itu dia. Dan saya yakin, jika saya fokus pada jalan itu, saya pun pasti akan “hidup bahagia”. Paling tidak secara ruhaniah, ya nggak? Menurut anda gimana?